Traffine I/O

Bahasa Indonesia

2023-07-11

Ketidaknyamanan Jepang dalam Melegalkan Layanan Ridesharing

Ketidaknyamanan Jepang dalam Melegalkan Layanan Ridesharing

Ketidaknyamanan Jepang untuk sepenuhnya merangkul layanan ridesharing seperti Uber adalah masalah yang berkelanjutan dan telah menjadi subjek perdebatan yang cukup intens. Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi, seperti tantangan regulasi dan penentangan yang kuat dari industri taksi tradisional. Di masyarakat di mana kenyamanan dan layanan pelanggan dianggap sangat penting, cukup mengejutkan melihat bahwa ridesharing - layanan yang mempromosikan keduanya - tidak hanya dihadapi dengan perlawanan tetapi juga dilarang secara efektif.

Landscape Politik yang Mempengaruhi Legalisasi Ridesharing

Lingkungan politik memainkan peran penting dalam perdebatan yang sedang berlangsung mengenai layanan ridesharing di Jepang. Tokoh-tokoh politik, terlepas dari afiliasi partai mereka, sering kali menjadi sasaran aktivitas lobi yang intens. Hal ini berkisar dari upaya oleh industri taksi untuk melindungi kepentingan mereka hingga upaya dari serikat buruh yang ingin menjaga status pekerjaan anggota mereka. Aktivitas lobi yang intens ini sangat mempengaruhi regulasi seputar ridesharing, sehingga menghasilkan perlawanan yang signifikan terhadap upaya-upaya liberalisasi.

Partai Konservatif Liberal Democratic Party (LDP), partai dominan dalam politik Jepang, menghadapi tekanan yang kuat dari pengelola perusahaan taksi. Demikian pula, Partai Demokratik Konstitusional Jepang, kekuatan oposisi yang signifikan, menerima tekanan dari serikat buruh yang khawatir akan kehilangan pekerjaan di industri taksi akibat adanya ridesharing. Kombinasi tekanan dari kedua sisi spektrum politik ini telah menghasilkan pendekatan yang hati-hati terhadap deregulasi layanan ridesharing di seluruh partai politik.

Keterbatasan Aplikasi Pemesanan Taksi Saat Ini

Salah satu hambatan utama yang dihadapi ridesharing di Jepang adalah sifat yang membatasi dari aplikasi pemesanan taksi saat ini. Misalnya, aplikasi GO, yang merupakan salah satu aplikasi pemesanan taksi paling populer di negara ini, hanya menerima registrasi dari pengguna dengan nomor telepon Jepang. Hal ini menciptakan hambatan yang signifikan bagi wisatawan asing yang ingin menggunakan layanan tersebut, sehingga efektif menolak akses mereka terhadap sarana transportasi yang potensial ini.

Karena pembatasan ini, orang asing sering kali tidak memiliki pilihan selain menaiki taksi di jalan, metode yang bisa jadi tidak nyaman dan tidak efisien, terutama di daerah metropolitan yang sibuk. Pembatasan ini tidak hanya menghambat kemudahan perjalanan bagi orang asing di Jepang, tetapi juga mencerminkan reputasi internasional negara ini dalam hal kenyamanan dan layanan pelanggan berkualitas tinggi.

Kondisi Taksi di Lokasi Utama

Contoh nyata kebutuhan mendesak terhadap layanan ridesharing dapat dilihat di tempat-tempat seperti Bandara Haneda. Pada larut malam, seringkali ratusan orang terlihat menunggu dalam antrean panjang untuk menaiki taksi. Kekurangan taksi dan kurangnya alternatif transportasi seperti ridesharing memperburuk situasi ini, mengakibatkan pengalaman yang tidak nyaman dan frustrasi baik bagi penduduk maupun wisatawan.

Masalah ini tidak terbatas pada bandara. Stasiun Shinkansen di Kyoto dan kota-kota lain juga sering mengalami antrean panjang untuk taksi. Selama waktu perjalanan puncak, kekurangan ini semakin terasa, mengakibatkan waktu tunggu yang membuat frustrasi dan potensi gangguan pada rencana perjalanan. Persistensi masalah ini, meskipun permintaan yang jelas terhadap opsi transportasi yang lebih efisien, semakin menegaskan kebutuhan mendesak bagi Jepang untuk meninjau kembali sikapnya terhadap layanan ridesharing.

Penggunaan Terbatas Layanan Ridesharing di Zona Khusus

Beberapa zona khusus di Jepang telah memperbolehkan penggunaan layanan ridesharing seperti Uber. Namun, kasus-kasus ini bersifat terkecuali dan tidak menunjukkan perubahan signifikan dalam sikap negara secara keseluruhan. Meskipun kehadiran ridesharing di zona-zona ini adalah perkembangan positif, namun masih merupakan fenomena marginal yang masih jauh dari menjadi tren nasional.

Perjuangan dengan Sistem Lisensi Saat Ini

Kompleksitas dan ketatnya sistem lisensi saat ini di Jepang merupakan tantangan yang signifikan bagi pertumbuhan layanan ridesharing. Bahkan deregulasi yang sederhana, yang memungkinkan pemegang izin mengemudi biasa untuk menyediakan layanan ridesharing, terlihat sulit untuk dicapai. Perjuangan ini menunjukkan penentangan yang kuat terhadap ridesharing di Jepang, sehingga sulit bagi industri ini untuk menembus hambatan-hambatan hukum dan regulasi.

Ketenagakerjaan Terbatas di Industri Taksi

Masalah legalisasi ridesharing menjadi lebih kritis dengan menurunnya tenaga kerja di industri taksi. Banyak sopir taksi yang pensiun, menyebabkan kekurangan layanan terutama pada periode sibuk. Bahkan di daerah yang dilayani oleh Shinkansen, kereta cepat Jepang, semakin sulit untuk menemukan taksi selama jam sibuk.

Kebutuhan Mendesak akan Mobil Otonom

Munculnya mobil otonom juga akan secara mendalam mempengaruhi infrastruktur transportasi Jepang. Adopsi yang lambat terhadap ridesharing bukan hanya masalah saat ini, tetapi juga tantangan masa depan saat Jepang mempersiapkan diri untuk era mobil otonom. Jika Jepang gagal mengatasi masalah-masalah saat ini seputar ridesharing, negara ini mungkin menghadapi kesulitan signifikan dalam beradaptasi dengan tren transportasi masa depan ini. Oleh karena itu, sangat penting bagi Jepang untuk mempertimbangkan kembali kebijakan restriktifnya guna menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi ridesharing dan mobil otonom.

Ryusei Kakujo

researchgatelinkedingithub

Focusing on data science for mobility

Bench Press 100kg!